POSBUMI.COM, JAKARTA– Tiga advokat, Runik Erwanto ,Singgih Tomi Gumilang dan M Soleh mengajukan gugatan terhadap UU Kekarantinaan Kesehatan dengan dasar larangan mudik ke MK.
Gugatan tersebut didaftarkan secara online ke MK pada Senin (4/5) dengan tanda terima permohonan nomor 1969/PAN.MK/V/2020.
Kuasa hukum pemohon, M soleh SH, mengatakan gugatan tersebut didasari kebijakan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah.M Soleh mengatakan, larangan mudik menyulitkan advokat ketika bertugas ke luar daerah.
“Gugatan ini didasari larangan orang melakukan mudik dan dibarengi larangan terbang pesawat di daerah yang diberlakukan PSBB. Para penggugat berprofesi sebagai lawyer yang dirugikan karena tidak bisa sidang di luar kota sebab tidak ada pesawat beroperasi,” kata M Soleh dalam keterangannya.
Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
M Soleh menambahkan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam UU Kekarantinaan Kesehatan juga tidak mengatur larangan mudik.
Berdasarkan Pasal 59 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan, PSBB hanya mengatur peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Aturan larangan mudik, kata M soleh, merupakan instrumen karantina wilayah yang terdapat dalam Pasal 54 ayat (3) UU tersebut yang bunyinya:
Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.
Sehingga M Soleh berpandangan, kebijakan larangan mudik saat status PSBB tidak memiliki dasar hukum.
“Aturan PSBB tidak mengatur soal larangan orang ke luar kota. Larangan ini (mudik) ada di aturan karantina wilayah. Bagi kami, larangan mudik ini tidak ada dasar hukumnya dan pelanggaran hak asasi,” ucapnya.
M Sholeh menilai, alasan pemerintah tak menerapkan karantina wilayah dan lebih memilih PSBB dibarengi larangan mudik karena terbentur masalah biaya.
Sebab, ketika menerapkan karantina wilayah, pemerintah wajib memenuhi kebutuhan pokok warga yang berada di wilayah karantina. Hal itu sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi.
Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Dan Soleh yang di pangil akrabnya pun mengutip pernyataan Jokowi dalam acara Mata Najwa. Saat itu, Jokowi menyatakan butuh Rp 550 miliar per hari hanya untuk memenuhi kebutuhan warga di Jakarta, belum bagi warga di Bogor, Depok, dan Bekasi.
“Artinya ada pertimbangan angka yang harus dibayar mahal jika karantina wilayah diberlakukan oleh pemerintah,” kata tomi berdasarkan isi gugatan ke MK.
Untuk itu, Soleh mengatakan dalam petitum gugatan, pihaknya meminta kepada MK agar menambah tafsir dalam Pasal 55 ayat (1) bahwa makna ‘setiap orang’ hanya dimaksudkan bagi orang miskin. Sehingga, pemerintah tak lagi terbebani ketika hendak menerapkan opsi karantina wilayah.
“Dengan gugatan ini supaya Mahkamah Konstitusi membuat tafsir ‘hanya orang miskin’ yang ditanggung oleh pemerintah pusat,” ujar Soleh.