POSBUMI.COM, KOTA TANGERANG– Pernyataan kontroversial yang dilontarkan Yandri Susanto, S.Pt., M.Pd., Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia dalam Kabinet Merah Putih, memicu gelombang kritik dari berbagai pihak. Dalam sebuah forum resmi, Yandri menyebut adanya praktik pungutan liar yang melibatkan oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan wartawan, seraya melontarkan istilah “LSM dan wartawan bodrex” yang dianggap merendahkan profesi dan peran vital kedua elemen tersebut dalam menjaga transparansi pemerintahan.
*Kronologi Pernyataan Kontroversial*
Pernyataan Yandri bermula ketika ia membahas soal dugaan adanya pemberian uang sebesar Rp300 ribu dari oknum instansi pemerintah kepada beberapa LSM dan wartawan. Uang tersebut, yang disebut-sebut sebagai “uang lelah”, dianggap sebagai bentuk kompromi agar berita negatif tentang instansi tersebut tidak dipublikasikan. Dalam konteks ini, Yandri membandingkan nominal tersebut dengan gajinya yang mencapai Rp300 juta per bulan, lalu menyebut bahwa ada “wartawan dan LSM bodrex” yang hanya mencari keuntungan kecil tanpa integritas.
Selain itu, Yandri juga mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas oknum-oknum yang terlibat dalam praktik tersebut. Namun, alih-alih menyoroti dugaan pelanggaran di tubuh instansi pemerintah, pernyataan ini justru mengundang kecaman karena terkesan menggeneralisasi seluruh LSM dan wartawan yang menjalankan fungsi kontrol sosial.
*Respon Keras Bahru Navizha: Pemerintah Jangan Alergi Terhadap Pengawasan*
Ketua Umum Gerakan Tangerang Raya (GATRA), Bahru Navizha, SH MH, menjadi salah satu tokoh yang angkat bicara menanggapi pernyataan tersebut. Bahru menilai ucapan Menteri Yandri tidak hanya merendahkan profesi wartawan dan aktivis LSM, tetapi juga mencerminkan sikap pemerintah yang mulai alergi terhadap kritik dan pengawasan.
“Kalau LSM dan wartawan dianggap bodrex hanya karena menjalankan fungsi kontrol sosialnya, enak dong oknum instansi pemerintah? Mereka bisa memperkaya diri sendiri dengan anggaran-anggaran yang fantastis tanpa ada yang mengawasi. Sementara pembangunan desa yang seharusnya menjadi prioritas, justru terabaikan,” tegas Bahru dalam pernyataannya, Senin (3/2/2025).
Menurut Bahru, meskipun ada segelintir oknum di tubuh LSM dan media yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk mencoreng seluruh profesi. Ia menekankan bahwa sebagian besar LSM dan wartawan masih berpegang teguh pada prinsip etika dan profesionalisme.
“Jangan karena ulah oknum, semua LSM dan wartawan dicap buruk. Ini bentuk pelecehan terhadap profesi yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menjaga transparansi dan demokrasi. Pemerintah seharusnya berterima kasih atas peran mereka, bukan malah merendahkan,” lanjut Bahru.
*Makna Istilah ‘Wartawan Bodrex’ dan Kode Etik Jurnalistik*
Bahru Navizha juga mengkritisi penggunaan istilah “wartawan bodrex” oleh Yandri Susanto. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada wartawan yang mencari keuntungan dengan ancaman pemberitaan negatif atau memilih tidak mempublikasikan berita demi imbalan. Bahru menilai, penyebutan istilah ini secara sembarangan dapat merusak kredibilitas insan pers di mata publik.
“Wartawan bekerja berdasarkan fakta dan tunduk pada Kode Etik Jurnalistik yang jelas diatur oleh Dewan Pers. Menyebut semua wartawan sebagai bodrex tanpa bukti konkret sama saja dengan merusak kredibilitas pers sebagai pilar demokrasi,” ujar Bahru.
Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers menegaskan bahwa wartawan wajib bersikap independen, tidak menerima suap, dan harus menyajikan informasi yang akurat, berimbang, serta tidak beritikad buruk. Jika ada pelanggaran terhadap kode etik ini, mekanisme pengaduan dapat dilakukan melalui Dewan Pers, dan sanksi tegas akan diberikan kepada oknum yang terbukti bersalah.
*Pernyataan Dewan Pers dan Kominfo: Pers adalah Pilar Demokrasi Keempat*
Ketua Umum Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S., juga angkat bicara terkait pernyataan Menteri Yandri. Dalam konferensi pers di Jakarta, Ninik menegaskan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ia menilai bahwa tuduhan sembarangan terhadap wartawan tidak hanya merugikan profesi, tetapi juga melemahkan demokrasi.
“Pers memiliki peran krusial dalam mengawasi jalannya pemerintahan, mengedukasi masyarakat, dan memastikan transparansi. Menyebut mereka bodrex tanpa dasar yang kuat hanya akan memperkeruh suasana dan merusak kepercayaan publik,” ujar Ninik.
Senada dengan Dewan Pers, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga menegaskan pentingnya kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi. Kominfo mengingatkan bahwa Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi dan alat kontrol sosial. Pemerintah diingatkan untuk tidak melemahkan peran pers yang menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
“Pers adalah pilar keempat demokrasi. Mereka tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga menjadi alat kontrol sosial yang memastikan pemerintah berjalan sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” tegas pernyataan resmi Kominfo.
*Desakan Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah*
Di akhir pernyataannya, Bahru Navizha menegaskan bahwa pemerintah harus lebih fokus pada perbaikan sistem pengawasan internal daripada sibuk mencari kambing hitam. Menurutnya, tudingan terhadap LSM dan wartawan justru memperlihatkan bahwa pemerintah tidak siap menerima kritik.
“Jangan salahkan cermin kalau wajah kita kotor. Pemerintah harus introspeksi, kenapa ada dugaan praktik seperti ini di instansinya? Kalau LSM dan wartawan dilemahkan, siapa yang akan mengawasi penggunaan anggaran yang besar ini? Jangan sampai pembangunan desa terhambat hanya karena pemerintah alergi terhadap kritik,” tutup Bahru.
Masyarakat kini menantikan langkah konkret dari pemerintah, apakah mereka akan memperbaiki sistem internal dan memperkuat transparansi, atau justru terus mencari kambing hitam atas kegagalan mereka sendiri.
*Satu hal yang pasti, peran LSM dan wartawan sebagai pengawas sosial tetap menjadi kunci dalam menjaga demokrasi yang sehat dan akuntabel.*