POSBUMI.COM, SUMEDANG – Dalam proses hukum seharusnya semuanya rata tidak boleh tembang pilih siapapun orangnya walaupun dia seorang pejabat publik ataupun seorang pemulung di mata hukum semuanya sama dan tidak boleh di pilah-pilah.
Dalam lambanya proses hukum Kepolisian Polres Sumedang dalam perkara dugaan pernikahan siri seorang oknum anggota dewan bernama Mulyadi dari Partai Golobgan Karya (Golkar) yang menikah siri dengan seorang perempuan Pegawai negeri Sipil (PNS) Kota Cimahi bernama Nur’ Annisa dimana pernikahan tersebut dilakukan di Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Setelah dilaporkan Mulyadi oleh istri syahnya, Herlinawati semenjak 28 November 2019 dengan No LP : B/218/XI/2019/JBR/RES SMD. Pihak Kepolisian Polres Sumedang walaupun telah mengambil kesimpulan bahwasanya perkaranya sudah cukup bukti pendukung, namun perkembangan dari pihak Kepolisian Polres Sumedang terkesan lamban dan belum berstatus, sehingga perkara dugaan pernikahan siri tersebut menuai banyak pertanyaan dari kalangan pemerhati.
Namun Kendati demikian terhadap pemprosesan hukum Perkara tersebut terkesan jalan ditempat tidak ada sebuah kepastian yang signifikan, pihak kepolisian Polres Sumedang belum juga memberikan status tersangka kepada Mulyadi.
Alih-alih beralasan dengan satu saksi Orang tuanya Nur’anissa lantaran sakit yang tidak bisa dipaksakan untuk diperiksa begitupun terkait COVID-19 adalah salah satu sebab tidak bisa dijalankan proses tersebut. Padahal sebelum pandemi korona menerjang Kanit PPA selalu mengaitkan kesulitan lantaran orang tua Nur’Annisa sakit, walaupun sebelumnya ucapan pihak Polres Sumedang mengatakan jika bukti telah memenuhi unsur namun demikian statusnya belum juga diputuskan.
Kenyataan ini sebagai penghalang atau sebuah alasan,? dengan terus mengundur undur waktu belum juga ada kepastian yang real terhadap status perkara Mulyadi tersebut.
Maju Simamora SH selaku Kuasa Hukum Herlinawati saat dikonfirmasi melalui via Whast’Up di beberapa hari yang lalu.
“Komunikasi terakhir karena mertua Mul sakit jadi belum bisa di BAP, sementara kita mau koordinasi kesana kondisi PSBB.
Artinya kita mau desak penyidik jangan karna mertua sakit terhalang penyidikan. Karna mertuanya hanya kapasitas saksi, bukan pelaku sementara bukti2 lain kan sudah lebih dari 2 untuk membuktikan terjadinya tindak pidana. Kesimpulan sudah harusnya mengarah naik status tersangka. PSBB ini jadi penghalang koordinasi”, terang kuasa Hukum Herlinawati.
Setelah diinfokan pihak Polres Sumedang melalui Kanit PPA Herry Herdiyana telah dikonfirmasi dan jawabannya sama seperti yang dikatakan kepada Kuasa Hukum Herlinawati sebelumnya yang dimana belum ada perubahan.
“Oh gìtu Kalau itu yg jadi argumentnya. Ya gk bs jadi alasan kecuali mertuanya itu satu-satunya alat bukti. Dalam kss ini kan banyak alat bukti
Foto-foto, saksi supir, istrinya, penghulunya dll.
Jadi bukti minimal itu sudah lebih dari 2”, tegas Marju Simamora.
Sehingga dalam perkara Mulyadi tersebut semestinya pihak penyidik Polres Sumedang sudah harus menyimpulkan atas perkara Mulyadi tersebut, sesuai yang dinyatakan Kuasa Hukum Herlinawati, tidaklah ada alasan karena orang tua Nur’Annisa hanyalah sebatas berkapasitas saksi bukan pelaku terkecuali orang tua nya Nur’ Annisa satu-satunya alat bukti, karena bukti-bukti lain sebagai pendukung terjadinya tindak pidana sudah harus bersetatus tersangka.
Sebelumnya Polres Sumedang melalui kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Herry Hardiyana saat ditemui dikantor nya tanggal 23 April 2020, menerangkan kepada media terkait perkara Mulyadi memang masih nunggu keterangan saksi yaitu orang tua Nur’Annisa dimana memang masih dalam keadaan sakit.
Ditambahkan Herry dengan berkaitan situasi COVID-19 (lockdownd) menjadi sebuah alasan dalam tahap proses perkara Mulyadi, namun ia belum menyimpulkan kapan status perkara tersebut akan dinaikan, sekalipun ia mengetahui sebagai terlapor yaitu Mulyadi yang mana istri sirinya saat ini sedang dalam keadaan Hamil dan itu juga adalah salah satu celah untuk membuktikan perkara tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :
1) Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
2) Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Ditentukan melalui gelar perkara.
Bahwa untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti, dan ditentukan melalui gelar pekara. Sehingga harus ada proses terlebih dahulu dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Dengan jelas terterah di hukum pidana tapi pelaksanaannya di lapangang masih terjadih tembang pilih kasus yang lamban penanganannya.
( RED )